Secara budaya, tatanan politik suku-suku yang ada di Papua diatur berdasarkan mekanisme demokrasi ataupun hubungan social yang terjadi diantara para anggota suku. Ini merupakan struktur politik awal di Papua yang hidup dan berkembang sebelum masuknya misionaris (gereja) dan penjajah serta para pedagang dari luar Papua yang pada masa awal hubungan orang Papua dengan dunia luar memang dikenal oleh karena adanya hubungan dagang yang terjadi antara suku-suku Papua dengan para pedagang luar.

Struktur politik yang demikian tidak pernah menimbulkan bias penindasan diantara anggota suku, kecuali memang ada pelanggaran-pelanggaran adapt secara prinsipil yang dilanggar oleh anggota suku tertentu dan mengharuskan adanya pengasingan dari antara kediaman sukunya atau hukuman lain yang dianggap sesuai dengan neraca kesalahan yang dibuatnya.

Perubahan radikal terjadi dalam struktur politik suku-suku Papua karena masuknya para misionaris di Papua dan semakin diperkuat oleh masuknya para penjajah Belanda dan Indonesia sampai saat ini. Ketika kekuasaan sepenunya berada ditangan para penjajah, rekayasa demokrasi diterapkan dan menjadikan rakyat Papua kadang bereaksi biasa-biasa saja atau tidak mau tahu dengan persoalan, karena tradisi politik yang berbeda dan lagi mekanisme demokrasi politik yang sungguh jauh berbeda dari kebiasaan-kebiasaan rakyat (suku-suku) di Papua.

Struktur politik semi kapitalis diperkenalkan oleh Belanda. Rakyat Papua dipaksa memasuki sekolah-sekolah modern orang Belanda, baik yang dimiliki oleh para misionaris maupun pemerintah, yang tersebar di Papua, sebagai dampak, terjadi pergeseran nilai secara besar-besaran searah semakin kuatnya struktur penjajahan di Papua oleh Belanda dengan memperluas pembangunan strutur pemerintahan jajahannya dari tingkat distrik sampai pemerintahan propinsi. Faktor birokrasi, salah satu jiwa dari etika kapitalisme modern, menjadi factor penting terkooptasinya hak-hak politik rakyat Papua yang biasanya didesain lewat lembaga-lembaga politik tradisionalnya dimasing-masing suku dan bahkan dinegasikan dari sistim politik modern kaum penjajah.

Semangat untuk meminggirkan peran politik rakyat Papua semakin diperparah oleh kehadiran Neo-Kolonialisme Indonesia pada tahun 1962 yang rekayasa pengesahannya oleh PEPERA 1969 yang tidka adil dan demokratis bagi Bangsa Papua tersebut.

Jika pada masa pemerintahan koloniaisme Belanda, partisipasi politik aktif orang Papua dimuarakan pada pemakaian orang-orang Papua yang memang memiliki keahlian akan hal-hal tersebut, tetapi pada masa pemerintahan Neo-Kolonialis Indonesia struktur politik yang diperkenalkan adalah struktur politik feodalistik yang sama sekali bertolak belakang dengan nilai-nilai budaya, kebiasaan hidup kolektif dan tindakan-tindakan politik orang Papua. Pada masa ini peran politik rakyat Papua dinegasikan sama sekali oleh Neo-Kolonialis Indonesia.

Secara umum dapat digarisbawahi bahwa proses penegasian peran politik orang Papua secara sistematis dilakukan oleh para penjajah termasuk juga oleh agama yang memang saat ini memiliki peran social sangat tinggi bagi rakyat Papua. Karena adanya mekanisme demokrasi yang tidak sesuai bagi rakyat Papua dan juga oleh pengendalian secara sistematis pada setiap potensi kritis rakyat Papua oleh penjajah mengakibatkan peminggiran hak-hak demokratik orang Papua untuk lebih banyak berperan pada struktur politik yang dibuat oleh kaum penjajah.