Negara Polis di Yunani pada jaman dahulu sulit bersatu karena berbagai factor, seperti geografi, suku, politik, sejarah, dan sebagainya. Begitu juga dengan negara Yugoslavia yang gagal membentuk suatu negara bangsa akibat. Disintegrasi terjadi karena factor politis dan ekonomis yang rasial menyebabkan lahirnya nasionalisme etnis menjadi nasionalisme kebangsaan. Adisusilo dalam tulisannya Yugoslavia: kegagalan sebuah Negara bangsa dengan merujuk dari William Bloom (1990) mengemukakan bahwa kesadaran suatu kelompok masyarakat untuk mendirikan sebuah negara bangsa (nation state) memiliki dua dimensi yang saling terkait: dimensi internal dan eksternal. Dimensi internal merujuk pada kemampuan suatu bangsa untuk menciptakan iklim konduksif dalam negeri untuk melakukan pembangunan nasional, terutama membangun konsensus nasional yang memperkecil atau meniadakan konflik-konflik internal. Sedangkan dimensi eksternal mencerminkan kemampuan suatu negara bangsa untuk menjalin hubungan luar negerinya dengan negara lain.
Disamping itu Adisusilo merujuk dari menurut Nicolaus Zahariadis (1994) dikatakan bahwa paham kebangsaan mengandung dua aspek: risorgimento dan integra. Risorgimento nationalism mengarah pada upaya pembebasan dari tekanan-tekanan sosial dan politik yang dihadapi oleh kelompok etnis dalam usaha menbentuk dan membangun rasa kebangsaan. Sedangkan internal nationalism mengarah pada pembentukan pemahaman paham kebangsaan yang terus berkesinambungan dalam suatu negara bangsa. Jika pembangunan rasa kebangsaan tersendat-sendat yang akhirnya bermuara pada lemahnya ikatan kebangsaan, maka akan memicu konflik antara etnis dalam negara bangsa itu.( Drs. Sutarjo Adisusilo, Loc.cit. hal. 69 -70)
Dalam konteks itu Yugoslavia terpecah belah menjadi beberapa negara bagian karena nasionalisme etnis memberikan intensi bagi terciptanya nasionalisme kebangsaan. Persoalan serupa seperti itu bisa saja terjadi disetiap negara yang multi etnis. Biasanya terjadi karena berbgai faktor dari dalam maupun dari luar.
Indonesia negara multi etnis yang terbentang dari Sabang sampai Merauke bukanlah sesuatu yang harus diyakini sudah final. Persoalan yang dialami Yugosalvia ataupun Unisoviet dapat juga dialami oleh negar multi etnis lain di dunia, seperti Indonesia. salah satu bagian dari NKRI, Timur-timur sudah memisakan diri. Peritiwa yang mengejutkan kalangan nasionalis Indonesia dinilai sangat merendahkan integritas bangsa Indonesia sebagai negara kesatuan. Lelahan politik itu, sulit untuk diterima kalangan akademik mencari alasan untuk mengatakan Timur-timur tidak ada artinya bagi Indonesia, bukan merupakan bagian dari jajahan Belanda dan berbagi alasan lainnya, walaupun harus di akui bahwa alasan itu sebagai bagian dari usaha menutupi malu, Mengapa demikian? Seandainya tidak penting, bukan jajahan Belanda dan sebagainya mengapa harus ada pembunuhan dan pembantaian oleh militer Indonesia? mengapa ada pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Indonesia terhadap warga sipil Timur-timur. Setelah timur-timur melalui perjuangan keras berhasil lepas dari NKRI sampai Aceh dan Papua Barat masih terus memperjuangkan pemisahan diri dari negara kesatuan NKRI. Keinginan untuk melepaskan diri itu didorong oleh telah lahir dan meluasnya nasionalisme orang Aceh maupun orang Papua Barat.
Nasionalisme Indonesia pada awalnya berkembang secara kedaerahan yang pada awalnya disebut nusantara. Kemudian hari dengan makin majunya pendidikan nasionalisme kedaerahan itu lahir dan menjadi satu nasionalisme kemerdekaan Indonesia yang ditandai dengan sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Nasionalisme kebangsaan diwujudkan dengan didirikannya Negara bangsa yang diesebut Indonesia. walaupun barang kali hanya bahasa Indonesia yang berasal dari Melayu pasaran yang digunakan orang Cina sebagai bahasa perdagangan pada beberapa abad lalu. Daerah yang dengan dasar sejarah dan etnologi sebagai dekolonisasi diklaim sebagai milik negara Indonesia saat ini menggunakan bahasa Indonesia sebagai identitas kebangsaan.
Perjuangan Indonesia untuk mendekolonisasi Papua Barat bukan aspirasi orang paua Barat, karena ada pemahaman bahwa ternyata keluar dari Belanda tidak memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada Orang Papua Barat. Justru tidak bisa disangkal bahwa Indonesia melalui sistem pemerintahannya menjadi penjajah baru. Pemahaman seperti itu yang telah menyebar luas di kalangan intelektual maupun masyarakat Papua Barat menginspirasi lahirnya perjuangan nasionalsime Papua Barat. itu berarti Papua Barat yang terlatak di Asia Tenggara pada umumnya sama dengan faham kebangsaan di kawasan Asia yang erat kaitannya dengan kolonialisme dan penjajahan. Dalam konteks itu pihak kebangsaan Papua Barat mempunyai erat kaitannya dengan penjajahan Belanda yang cukup lama di Papua Barat dua belas tahun lebih lama dari Indonesia. Namun konsep dekolonisasi Indonesia justru telah menjadi kolonialis baru atas Papua Barat yaitu dengan menggagalkan pendirian negara Papua Barat merdeka. Dengan begitu dalam konteks kacamata Pos kolonialisme orang Papua Barat yang berpandangan bahwa Indonesia adalah Negara colonial baru di kawasan Asia terutama bagi Papua dan daerah lainnya adalah sah-sah saja. Pandangan seperti itu bertitik tolak dari adanya perlawanan dari elemen nasionalis terpelajar serta masyarakat prokemerdekaan Papua Barat yang sampai saat ini terus memperjuangkan pengakuan akan kemeredekaan negara Republik Papua Barat.

Mengenai nasionalisme atau faham kebangsaan yang telah ada di Papua Barat menurut Junus Adijondro menuliskan bahwa ada tiga kelompok besar faham kebangsaan yang hidup di kalangan orang Papua sebagai berikut:

(a) faham kebangsaan suku (ethno-nationalism );
(b) faham kebangsaan "Merah Putih"; dan
(c) faham kebangsaan Papua.

Kelompok pertama adalah faham kebangsaan yang tertua di Papua Barat. Tapi walaupun tua, faham nasionalisme-etnis ini belum tentu tidak pernah (relevan) lagi, melihat bertahannya berbagai bentuk nasionalisme etnis di negara-negara Blok Barat maupun (eks) Blok Timur serta suatu negara Non-Blok seperti Yugoslavia.
Kelompok kedua adalah faham kebangsaan yang dianut oleh orang-orang Irian yang ingin mempertaruhkan masa depan mereka dalam suatu kesatuan dengan Indonesia, yang bervariasi dalam bentuk negara unitaris versus federalis yang mereka inginkan Akhirnya,
kelompok ketiga adalah faham kebangsaan yang ingin melihat wilayah barat pulau Irian menjadi suatu negara merdeka. Variasi faham ini meliputi bentuk negara -- juga unitaris versus federalis --; hubungan dengan negara-negara Pasifik Selatan yang berpenduduk se rumpun Melanesia, diakui tidaknya agama (Kristen) sebagai agama dominan; sistem ekonomi -- sosialisme negara versus kapitalisme -- yang bakal dianut oleh negara Papua Barat (atau Melanesia Barat) yang merdeka nantinya; serta penggunaan kekerasan versus diplomasi anti-kekerasan dalam mem-perjuangkan cita-cita kemerdekaan itu. ( Aditjondro, Cahaya Bintang Kejorah: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: ELSAM, 2000, hlm, 9. Lihat juga misalnya, Davis, 1978, dan O'Sullivan See, 1986)

Dalam pembahasan lebih lanjut akan di kaji mengenai nasionalisme-etnis dan nasionalisme orang Papua yang bercita-cita mendirikan negara merdeka berpisah dengan NKRI. Setiap suku di Papua Barat memiliki faham kebangsaan suku (ethno-nationalism) faham kebangsaani suku itu telah memberikan sumbangan bagi lahir nasionalisme Papua Barat untuk membentuk negara nasional. Bentuk-bentuk nasionalisme kesukuan itu terdapat dalam cara Orang Papua memandang indentitas suku maupun yang menyatukan diantara setiap suku, misalnya saja indentitas sebagi keompok etnis, cara pandang orang terhadap tanah , cara pandang Orang Papua terhadap penduduk di luar Papua Barat yang tercermin dalam mitos yang dibangun sebagai kerinduan akan kebebasan akan datangnya seorang ratu adil yang membebaskan.
Cargoisme sebagai gerakan-gerakan Ratu Adil di berbagai suku dari orang Biak di Samudera Pasifik, orang Amungme di kaki Pegunungan Jayawijaya, sampai dengan orang Muyu dan Mandobo di perbatasan Merauke telah ikut menyuburkan berkembang luasnya nasionalisme Papua. Dalam konteks sejarah gerakan cargoisme telah mendorong lahirnya perlawanan yang terorganisir dengan mendirikan partai politik ketika mulai hadir tokoh-tokoh terpelajar dari didikan Belanda yang terpilih dalan Dewan New Guenia Raad yang kemudian nasionalisme Papua Barat ditata dengan dideklarasikan Pembentukan Negara Papua Barat. Kemudian di lakukan pengibaran bendera Sang Bintang Kejora sejajar dengan bendera Merah-Putih-Biru di seluruh negeri itu, pada 1 November 1961. Selain bendera ada simbol-simbol kenegaraan seperti lagu nasional yaitu: Hai Tanahku, lambang negara yaitu: burung Mambruk, nama negara yaitu Republik Papua Barat, dan penggantian nama Nederlands Nieuw Guinea (Nieuw Guinea Belanda) menjadi Papua Barat. Bahkan waktu dilakukan proses dekolonisasi itu, Belanda telah membentuk semacam parlemen yang mayoritas beranggotakan orang-orang Papua, serta embrio tentara nasional yang disebut Korps Sukarelawan Papua alias Batalyon Papua.( Aditjondro, Evolusi Nasionalisme Papua Barat)
Namun sebelum negara Papua berfungsi telah di hancurkan oleh militer Indonesia melalui Trikota. Untuk merebut kembali kemerdekaan dengan tujuan memishkan diri dari NKRI TPN/ OPM dideklarasikan di kota Manokwari dan pada tanggal itu juga telah dilakukan peneyrangan orang-orang Arfak terhadap barak pasukan Batalyon 751 (Brawijaya) di mana tiga orang anggota kesatuan itu dibunuh. Picu "proklamasi TPN/OPM" yang pertama itu adalah penolakan para anggota Batalyon Papua (PVK = Papoea Vrijwilligers Korps ) dari suku Arfak dan Biak untuk didemobilisasi, serta penahanan orang-orang Arfak yang mengeluh ke penguasa setempat karena pengangguran yang tinggi serta kekurangan pangan di kalangan suku itu (Aditjondro, Ibid, hlm 10. Lihat juga Ukur dan Cooley, 1977: 287; Osborne, 1985: 35-36; Sjamsuddin, 1989: 96-97; Whitaker, 1990: 51)
Batalyon Papua yang didukung oleh politikus senior asal Manokwari, Johan Ariks. Penyerangan yang gagal terhadap tangsi TNI di Manokwari, namun merembet ke seluruh wilayah Kepala Burung itulah yang lazim dianggap sebagai hari lahirnya "Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Papua Barat". Nama panjang itu kemudian disingkat pihak aparat
keamanan dan kejaksaan Indonesia menjadi "Organisasi Papua Merdeka", disingkat OPM, singkatan yang kemudian populer di seluruh kalangan nasionalis Papua.
Terlepas dari konflik-konflik bersenjata kecil-kecilan di sana-sini, tahun-tahun berikutnya para nasionalis Papua berusaha mengkonsolidasi diri menghadapi Penentuan Pendapat Rakyat yang menurut Perjanjian New York harus diselenggarakan Indonesia di bawah pengawasan PBB, tahun 1969. Ironisnya, benih-benih nasionalisme Papua Barat sementara itu merembet dari para serdadu didikan Belanda ke para mahasiswa Universitas Cenderawasih didikan Indonesia. Sejumlah mahasiswa Uncen, di bawah pimpinan almarhum Arnold Ap, mulai sering berdemonstrasi menuntut kemerdekaan Papua Barat. Demonstrasi-demonstrasi yang sering dipicu oleh ulah para tentara dan birokrat Indonesia, yang tanpa malu-malu mengangkut barang-barang mewah peninggalan Belanda seperti kulkas dan mesin cuci listrik - ke tempat asal mereka.( Aditjondro, Evolusi Nasionalisme Papua Barat……….)
Kemudian "Republik Papua Barat" diproklamasikan seorang bekas anggota TNI/AD, Seth Jafeth Rumkorem, di kota kecamatan Waris, pada 1 Juli 1971. Proklamasi itu mengabadikan bendera Sang Bintang Kejora dan lagu kebangsaan Hai Tanahku, Papua, ciptaan orang-orang Belanda sepuluh tahun sebelumnya, menjadi simbol-simbol nasionalisme mereka. Sejak saat itulah, nasionalisme Papua semakin merasuk di kalangan masyarakat, bukan hanya di antara suku-suku pegunungan sekitar Tembagapura, melainkan juga di kalangan mahasiswa, pegawai negeri, rohaniwan Kristen maupun masyarakat Islam di daerah Fak-Fak, yang dulu sudah juga terwakili dalam Dewan Papua maupun dalam barisan panjang pengibar bendera Sang Bintang Kejora yang pernah dipenjarakan. Pelanggaran demi pelanggaran HAM, pembantaian demi pembantaian, gelombang-gelombang transmigran dan migran spontan, serta pengurasan sumberdaya alam tanpa mengindahkan pranata adat dan lingkungan orang Papua, justru semakin memupuk nasionalisme Papua.