Dalam setiap perjuangan politik gerakan rakyat tertindas dimanapun, baik gerakan buruh, gerakan tani, gerakan masyarakat adat serta gerakan mahasiswa diperlukan adanya sebuah landasan Strategi dan Taktik Perjuangan untuk mencapai tujuan atau misi perjuangan dari organisasi bersangkutan.

Dalam perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat, diperlukan pembacaan yang ilmiah dan obyektif terhadap sejarah perkembangan massa-rakyat Papua Barat, proses perjuangan politik yang telah dilakukan sampai pada kajian historis mengenai perkembangan ekonomi-politik dunia yang turut merubah struktur kelas, eskplotasi kapitalisme, nilai-nilai demokrasi, kemiskinan yang disebabkan oleh struktur kelas di massa-rakyat, proses ketidakadilan yang terjadi sampai pada penindasan secara sistematis dan terstruktur secara rapi oleh Kapitalisme – Imperialisme perlu mendapat porsi analisis organisasi bagi keperluan peletakan landasan Strategi dan Taktik Perjuangan dalam meradikalisasi gerakan Pembebasan Nasional Papua Barat secara massif dan lebih kualitatif menuju sebuah kemenangan sejati rakyat Papua Barat dari belenggu Kapitalisme – Imperialisme dan dari cengkeraman Neo-Kolonialis Indonesia.


Perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat saat ini merupakan bagian dari perlawanan rakyat tertindas diseluruh dunia yang sedang melakukan perlawanan yang sama terhadap segala bentuk angkara murka dan kelicikan kemanusiaan yang diperankan secara ganda oleh nilai-nilai kapitalistik yang sedang berkembang saat ini, selain itu watak perlawanan revolusioner rakyat Papua Barat dalam perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat memiliki semangat yang sama dengan Gerakan Buruh, Gerakan Tani dan Gerakan Mahasiswa yang memiliki watak perjuangan progresif – revolusioner, tidak saja di Papua Barat dan Indonesia tapi juga menembus batas negara dan benua lain sebagai bentuk persatuan perjuangan rakyat tertindas semesta.

Sebagai bagian dari proses sejarah dalam perjuangan revolusioner Papua Barat maupun dunia, Aliansi Mahasiswa Papua sejak awal harus mempersiapkan langkah-langkah strategis dan taktis dalam melakukan perjuangan politik di Papua Barat, Indonesia maupun ditengah-tengah masyarakat Internasional berdasarkan semangat perlawanan rakyat dunia ketiga (termasuk gerakan dunia keempat) yang sedang berjuang melawan kemiskinan, ketidakadilan dan penindasan oleh Imperialisme-Kapitalisme global. Inilah landasan Strategi dan Taktik Perjuangan yang harus dimatrialkan oleh kader-kader AMP dalam bentuk pendidikan politik, pengorganisiran, kaderisasi dan pengembangan basis organisasi pelopor ditengah massa-rakyat Papua Barat. Muara akhir dari segala proses politik tersebut akan terlihat dalam bentuk aksi-aksi massa revolusioner massa-rakyat Papua Barat yang telah tersadarkan secara politik dan memahami ideologi politik yang kita perjuangkan.

Inilah metode praktis dari Strategi dan Taktik Perjuangan AMP yang harus dipahami oleh setiap kader AMP guna melakukan kerja-kerja politik atas dalam rangka kampanye perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat, baik di Tanah Air Papua Barat, Indonesia maupun kepada masyarakat Internasional dan juga dalam melakukan kerja-kerja politik bawah dalam makna pendidikan politik, pengorganisiran, kaderisasi dan pengembangan basis atau kantong-kantong revolusioner disetiap sudut Tanah Papua Barat.

Metode praksis dari Strategi dan Taktik Perjuangan AMP semacam ini akan pula membantu memetakan secara baik siapa kawan yang dapat diajak dalam perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat secara strategis maupun siapa kawan yang dapat diajak dalam perjuangan yang sama namun dalam makna taktis, baik di Papua Barat maupun di Indonesia serta juga dengan masyarakat Internasional, terutama gerakan rakyat dunia ketiga dan keempat. Semoga saja!

Berikut ini adalah garis-garis besar Landasan Strategi dan Taktik Perjuangan Organisasi yang akan menjadi acuan bagi pembentukan Platform serta Program Kerja organisasi kita.

Landasan Strategi dan Taktik (Stratak) Perjuangan AMP diatur berdasarkan pembacaan situasi obyektif politik, baik situasi politik di Tanah Papua, Indonesia, maupun Internasional. Pada setiap periodisasi program kerja organisasi, landasan Stratak dapat diubah berdasarkan kebutuhan politik organisasi. Tetapi landasan stratak yang utama tidak dapat dirubah sebelum adanya perubahan politik bagi Papua Barat.

Berikut adalah Landasan Strategi dan Taktik Perjuangan AMP:

a.Landasan Perlawanan Terhadap Neo-Kolonialisme Indonesia

Sejarah “integrasi” Papua Barat kedalam NKRI merupakan sebuah proses sejarah yang direkayasa oleh negara-negara imperialis, yaitu Amerika, Belanda dan Indonesia. Masuknya Pemerintahan Neo-Kolonialis Indonesia di Papua Barat sejak tanggal 1 Mei 1962 dan dilanjutkan dengan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat pada tanggal 14 Juli – Agustus 1969 tidak diatur sepenuhnya berdasarkan kaidah-kaidah demokrasi yang berlaku secara universal. Walaupun telah diatur dalam New York Agreement tentang “hak menentukan nasib sendiri” tetapi dalam pelaksanaannya ketentuan tersebut dilanggar oleh Indonesia dengan membentuk Dewan Musyarah Pepera (DMP) yang tidak mengakui right to self determination dan DMP didukung sepenuhnya oleh Amerika Serikat dan para sekutunya, termasuk Belanda. Inilah yang melandasi semangat perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat saat ini.
Sejarah juga mencatat tentang Kongres Rakyat Papua ke-1, dalam Kongres Dewan Rakyat Papua (Nieuw Guinea Raad) pada tanggal 1 Desember 1961 telah dihasilkan sejumlah resolusi penting, yaitu Pembentukan Papua Barat sebagai Negara Merdeka dengan Bendera Bintang Kejora sebagai bendera Negara, West Papua (Papua Barat) sebagai nama Negara, Lagu Kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dan Burung Mambruk sebagai Lambang Negara.

Dengan demikian, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) mempunyai tanggung jawab sejarah untuk meneruskan cita-cita perjuangan tersebut. Inilah yang diatur oleh organisasi kita dalam Landasan Perlawanan Terhadap Neo-Kolonialisme Indonesia, dengan Platform Dasar sebagai berikut:
· Tuntutan Politik Kita, Segera Lakukan Review atau Peninjauh Kembali Pelaksanaan “Penentuan Pendapat Rakyat / PEPERA” 1969, sebab pelaksanaan PEPERA 1969 Tidak Depokratis dan Tidak Mengunakan Ketentuan New York Agreement yang Mengatur tentang Acr of Free Choisce.
· Tuntutan Politik Kita untuk Segera Lakukan Penentuan Pendapat ( PEPERA) Ulang atau REFERENDUM yang sesuai dengan Mekanisme secara universal dengan dua opsi yaitu : Tetap bergabungan dengan Indonesia (NKRI) atau Berdiri Sendiri/Merdeka
· Pelurusan Sejarah Papua Barat Secara Ilmiah Kepada Akademisi Indonesia, Aktivis Pro Demokrasi Indonesia dan Kepada Rakyat Indonesia.
Landasa Tanpa bermaksud mengurangi makna persperktif ilmiah dari ilmu sosial lain, kajian historis Indonesia dan Papua Barat keduanya merupakan bagian dari Hindia Belanda, tapi kedua bangsa ini sungguh tidak memiliki garis paralel maupun hubungan politik sepanjang sejarah manusia.

Pertama:
Sebelum adanya penjajahan asing, setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat sejak lebih dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal leaders). Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis sedangkan di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun. Di Biak, hingga tahun 1960an orang masih mengenal Kankain Karkara sebagai lembaga legeslatif yang dibentuk secara demokratis. Dari dalam tingkat pemerintahan tradisional di Papua Barat tidak terdapat garis politik vertikal dengan kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia ketika itu.

Kedua:
Rakyat Papua Barat memiliki sejarah yang berbeda dengan Indonesia dalam menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Misalnya, gerakan Koreri di Biak dan sekitarnya, yang pada awal tahun 1940-an aktif menentang kekuasaan Jepang dan Belanda, tidak memiliki garis komando dengan gerakan kemerdekaan di Indonesia ketika itu. Gerakan Koreri, di bawah pimpinan Stefanus Simopiaref dan Angganita Menufandu, lahir berdasarkan kesadaran pribadi bangsa Melanesia di Biak dan sekitarnya untuk memerdekakan diri di luar penjajahan asing.

Ketiga:
Lamanya penjajahan Belanda di Indonesia tidak sama dengan lamanya penjajahan Belanda di Papua Barat. Indonesia dijajah oleh Belanda selama sekitar 350 tahun dan berakhir ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949. Papua Barat, secara politik praktis, dijajah oleh Belanda selama 64 tahun (1898-1962).

Keempat:
Batas negara Indonesia menurut proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah dari »Aceh sampai Ambon«, bukan dari »Sabang sampai Maroke«. Mohammed Hatta (almarhum), wakil presiden pertama RI, bersama kawan-kawannya justru menentang dimasukkannya Papua Barat ke dalam Indonesia.

Kelima:
Pada Konferensi Meja Bundar (24 Agustus - 2 November 1949) dikota Den Haag (Belanda) telah dimufakati bersama oleh pemerintah Belanda dan Indonesia bahwa Papua Barat tidak merupakan bagian dari negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Status Nieuw-Guinea akan ditetapkan oleh kedua pihak setahun kemudian.

Keenam:
Papua Barat pernah mengalami proses dekolonisasi di bawah pemerintahan Belanda. Papua Barat telah memiliki bendera national »Kejora«, »Hai Tanahku Papua« sebagai lagu kebangsaan dan nama negara »Papua Barat«. Simbol-simbol kenegaraan ini ditetapkan oleh New Guinea Raad / NGR (Dewan New Guinea). NGR didirikan pada tanggal 5 April 1961 secara demokratis oleh rakyat Papua Barat bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Nama negara, lagu kebangsaan serta bendera telah diakui oleh seluruh rakyat Papua Barat dan pemerintah Belanda.

Ketujuh:
Dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963, Papua Barat merupakan daerah perwalian PBB di bawah United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) dan dari tahun 1963 hingga 1969, Papua Barat merupakan daerah perselisihan internasional (international dispute region). Kedua aspek ini menggaris-bawahi sejarah Papua Barat di dunia politik internasional dan sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan perkembangan sejarah Indonesia bahwa kedua bangsa ini tidak saling memiliki hubungan sejarah.

Kedelapan:
Pernah diadakan plebisit (Pepera) pada tahun 1969 di Papua Barat yang hasilnya diperdebatkan di dalam Majelis Umum PBB. Beberapa negara anggota PBB tidak setuju dengan hasil Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) karena hanya merupakan hasil rekayasa pemerintah Indonesia. Adanya masalah Papua Barat di atas agenda Majelis Umum PBB menggaris-bawahi nilai sejarah Papua Barat di dunia politik internasional. Ketidaksetujuan beberapa anggota PBB dan kesalahan PBB dalam menerima hasil Pepera merupakan motivasi untuk menuntut agar PBB kembali memperbaiki sejarah yang salah. Kesalahan itu sungguh melanggar prinsip-prinsip PBB sendiri.

Kesembilan:
Rakyat Papua Barat, melalui pemimpin-pemimpin mereka, sejak awal telah menyampaikan berbagai pernyataan politik untuk menolak menjadi bagian dari RI. Frans Kaisiepo (almarhum), bekas gubernur Papua Barat, pada konferensi Malino 1946 di Sulawesi Selatan, menyatakan dengan jelas bahwa rakyatnya tidak ingin dihubungkan dengan sebuah negara RI (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society). Johan Ariks (alm.), tokoh populer rakyat Papua Barat pada tahun 1960-an, menyampaikan secara tegas perlawanannya terhadap masuknya Papua Barat ke dalam Indonesia (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society). Angganita Menufandu (alm.) dan Stefanus Simopiaref (alm.) dari Gerakan Koreri, Raja Ati Ati (alm.) dari Fakfak, L.R. Jakadewa (alm.) dari DVP-Demokratische Volkspartij, Lodewijk Mandatjan (alm.) dan Obeth Manupapami dari PONG-Persatuan Orang Nieuw-Guinea, Barend Mandatjan (alm.), Ferry Awom (alm.) dari Batalyon Papua, Jufuway (alm.), Arnold Ap (alm.), Eliezer Bonay (alm.), Adolf Menase Suwae (alm.), Dr. Thomas Wainggai (alm.), Nicolaas Jouwe, Markus Wonggor Kaisiepo dan lain-lainnya dengan cara masing-masing, pada saat yang berbeda dan kadang-kadang di tempat yang berbeda memprotes adanya penjajahan asing di Papua Barat.